Marquee

Blog ini merupakan sebuah catatan penulis untuk mengumpulkan informasi untuk bekal kehidupan penulis dan ajang bagi generasi muda Desa Kwarakan, Kec Kaloran, Kab Temanggung menambah wawasan dalam hal ilmu pengetahuan dan tehnologi ☼ Mohon maaf apabila ada konten yang kurang berkenan dihati anda ☼ Silahkan kunjungi kami juga di Kwarakan.com ☼ Bagi anda pemuda / pemudi desa kwarakan silahkan bergabung di grup facebook Badak sakti part 2 ☼ Untuk mengenal lebih lanjut profil Desa kami silahkan klik ☼ BUAH KEPELPROFIL DESA KWARAKANKAPULAGAKLENGKENG ANDALAN DESAKUPANILI EMAS HIJAU YANG TERABAIKAN SENGONBERANDA ☼ Mendengarkan / Melihat / unduh Pengajian silahkan klik ► CERAMAH / Pengajian ☼ Membaca AL QURAN silahkan klik ► AL QUR'AN ☼ Membaca contents - contents islam silahkan klik ► CONTENT ISLAM

Minggu, 17 Juli 2011

Masa - Il Diniyah I

Di Copy Oleh Priyayi Kwarakan Dari Buku Masa - Il Diniyah I Karya: Kholil Abou Fateh

MASA-IL DINIYYAH  I

BAB I
IJTIHAD DAN TAQLID

Ijtihad adalah mengeluarkan (menggali) hukum-hukum yang tidak terdapat nash (teks) yang jelas ; yang tidak mengandung kecuali satu makna tentangnya.

Jadi Mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) ialah orang yang memiliki keahlian dalam hal ini. Ia adalah seorang yang hafal ayat-ayat ahkam, hadits-hadits ahkam beserta mengetahui sanad-sanad dan keadaan para perawinya, mengetahui nasikh dan mansukh, ‘am dan khash, muthlaq dan muqayyad  serta menguasai betul bahasa Arab dengan sekira hafal pemaknaan-pemaknaan setiap nash sesuai dengan bahasa al Qur’an, mengetahui apa yang telah disepakati oleh para ahli ijtihad dan apa yang diperselisihkan oleh mereka, karena jika tidak mengetahui hal ini maka dimungkinkan ia menyalahi ijma'  (konsensus para ulama) para ulama sebelumnya.

Lebih dari syarat-syarat di atas, masih ada sebuah syarat besar lagi yang harus terpenuhi dalam berijtihad yaitu kekuatan pemahaman dan nalar. Kemudian juga disyaratkan memiliki sifat ‘adalah; yaitu selamat dari dosa-dosa besar dan tidak membiasakan berbuat dosa-dosa kecil yang bila diperkirakan secara hitungan jumlah dosa kecilnya tersebut melebihi jumlah perbuatan baiknya.

Sedangkan Muqallid (orang yang melakukan taqlid; mengikuti pendapat para mujtahid) adalah orang yang belum sampai kepada derajat tersebut di atas.

Dalil bahwa orang Islam terbagi kepada dua tingkatan ini adalah hadits Nabi shallallahu 'alayhi wasallam:

" نضر الله امرأ سمع مقالتي فوعاها فأداها كما سمعها ، فربّ حامل مبلغ لا فقه عنده "  (رواه الترمذي وابن حبان)

Maknanya : “Allah memberikan kemuliaan kepada seseorang yang mendengar perkataanKu, kemudian ia menjaganya dan menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya, betapa banyak orang yang menyampaikan tapi tidak memiliki pemahaman”. (H.R. at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)


Bukti terdapat pada lafazh:   فربّ مبلغ لا فقه عنده ""

Betapa banyak orang yang menyampaikan tapi tidak memiliki pemahaman”.
Dalam riwayat lain:       "وربّ مبلغ أوعى من سامع"

Betapa banyak orang yang mendengar (disampaikan kepadanya hadits) lebih mengerti dari yang menyampaikan”.

Bagian dari lafazh hadits tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa di antara sebagian orang yang mendengar hadits dari Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam ada yang hanya meriwayatkan saja dan pemahamannya terhadap kandungan hadits tersebut kurang dari pemahaman orang yang mendengar darinya. Orang yang kedua ini dengan kekuatan nalar dan pemahamannya memiliki kemampuan untuk menggali dan mengeluarkan hukum-hukum dan masalah-masalah (dinamakan Istinbath) yang terkandung di dalam hadits tersebut. Dari sini diketahui bahwa sebagian sahabat Nabi ada yang pemahamannya kurang dari para murid dan orang yang mendengar hadits darinya. Pada lafazh lain hadits ini:
" فربّ حامل فقه إلى من هو أفقه منه "

Betapa banyak orang yang membawa fiqh kepada orang yang lebih paham darinya”. Dua riwayat ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban.


Mujtahid dengan pengertian inilah yang dimaksud oleh hadits Nabi shallallahu 'alayhi wasallam:

" إذا اجـتهد الحاكم فأصاب فله أجران وإذا اجـتهد فأخطأ فله أجر "  (رواه البخاري)

Maknanya: “Apabila seorang Penguasa berijtihad dan benar maka ia mendapatkan dua pahala dan bila salah maka ia mendapatkan satu pahala”. (H.R. al Bukhari)

Dalam hadits ini disebutkan Penguasa (الحاكم)  secara khusus karena ia lebih membutuhkan kepada aktivitas ijtihad dari pada lainnya. Di kalangan para ulama salaf, terdapat para mujtahid yang sekaligus penguasa, seperti para khalifah yang enam; Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, al Hasan ibn ‘Ali, ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz, Syuraih al Qadli dan lainnya.

Para ulama hadits yang menulis karya-karya dalam Mushthalah al Hadits menyebutkan bahwa ahli fatwa dari kalangan sahabat hanya kurang dari sepuluh, yaitu sekitar enam menurut suatu pendapat. Sebagian ulama  lain berpendapat bahwa ada sekitar dua ratus sahabat yang mencapati tingkatan Mujtahid dan ini pendapat yang lebih sahih. Jika keadaan para sahabat saja demikian adanya maka bagaimana mungkin setiap orang muslim yang bisa membaca al Qur’an dan menelaah beberapa kitab berani berkata: “Mereka (para mujtahid) adalah manusia dan kita juga manusia, tidak seharusnya kita taqlid kepada mereka”. Padahal telah terbukti dengan data yang valid bahwa kebanyakan ulama salaf bukan mujtahid, mereka ikut (taqlid) kepada ahli ijtihad yang ada di kalangan mereka. Dalam shahih al Bukhari diriwayatkan bahwa seorang pekerja sewaan telah berbuat zina dengan isteri majikannya. Lalu ayah pekerja tersebut bertanya tentang hukuman atas anaknya, ada yang mengatakan: “Hukuman atas anakmu adalah membayar seratus ekor kambing dan (memerdekakan) seorang budak perempuan”. Kemudian sang ayah kembali bertanya kepada ahli ilmu, jawab mereka: “Hukuman atas anakmu dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun”. Akhirnya ia datang kepada Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersama suami perempuan tadi dan berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya anakkku ini bekerja kepada orang ini, lalu ia berbuat zina dengan isterinya. Ada yang berkata kepadaku hukuman atas anakku adalah dirajam, lalu aku menebus hukuman rajam itu dengan membayar seratus ekor kambing dan (memerdekakan) seorang budak perempuan. Lalu aku bertanya kepada para ahli ilmu dan mereka menjawab hukuman anakmu adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun ?”. Rasulullah berkata: “Aku pasti akan memberi keputusan hukum terhadap kalian berdua dengan Kitabullah, al walidah (budak perempuan) dan kambing tersebut dikembalikan kepadamu dan hukuman atas anakmu adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan (dari kampungnya sejauh jarak Qashar –sekitar 78 Km)  setahun”.

Laki-laki tersebut sekalipun seorang sahabat tapi ia bertanya kepada para sahabat lainnya dan jawaban mereka salah lalu ia bertanya kepada para ulama di kalangan mereka hingga kemudian Rasulullah memberikan fatwa yang sesuai dengan apa yang dikatakan oleh para ulama mereka. Dalam kejadian ini Rasulullah memberikan pelajaran kepada kita bahwa sebagian sahabat sekalipun mereka mendengar langsung hadits dari Nabi namun tidak semuanya memahaminya, artinya tidak semua sahabat memiliki kemampuan untuk mengambil hukum dari hadits Nabi. Mereka ini hanya berperan meriwayatkan hadits kepada lainnya sekalipun mereka memahami betul bahasa Arab yang fasih. Dengan demikian sangatlah aneh orang-orang bodoh yang berani mengatakan: “Mereka adalah manusia dan kita juga manusia...”. Mereka yang dimaksud adalah para ulama mujtahid seperti para imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad ibn Hanbal).

Senada dengan hadits di atas, hadits yang diriwayatkan Abu Dawud tentang seorang laki-laki yang terluka di kepalanya. Pada suatu malam yang dingin ia junub, setelah ia bertanya tentang hukumnya kepada orang-orang yang bersamanya, mereka menjawab: “Mandilah !”. Kemudian ia mandi dan meninggal (karena kedinginan). Ketika Rasulullah dikabari tentang hal ini, beliau berkata: “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membalas perbuatan mereka, Tidakkah mereka bertanya kalau memang tidak tahu, karena obat ketidaktahuan adalah bertanya !”. Jadi obat kebodohan adalah bertanya, bertanya kepada ahli ilmu. Lalu Rasulullah berkata : " Sesungguhnya cukup bagi orang tersebut bertayammum, dan membalut lukanya dengan kain lalu mengusap kain tersebut dan membasuh (mandi) sisa badannya". (H.R. Abu Dawud dan lainnya). Dari kasus ini diketahui bahwa seandainya ijtihad diperbolehkan bagi setiap orang Islam untuk melakukannya, tentunya Rasulullah tidak akan mencela mereka yang memberi fatwa kepada orang junub tersebut padahal mereka bukan ahli untuk berfatwa.

Kemudian di antara tugas khusus seorang mujtahid adalah melakukan qiyas, yaitu mengambil hukum bagi sesuatu yang tidak ada nashnya dengan sesuatu yang memiliki nash karena ada kesamaan dan keserupaan antara keduanya.

            Maka berhati-hati dan waspadalah terhadap mereka yang menganjurkan para pengikutnya untuk berijtihad, padahal mereka sendiri, juga para pengikutnya sangat jauh dari tingkatan ijtihad. Mereka dan para pengikutnya adalah para pengacau dan perusak agama. Termasuk kategori ini adalah orang-orang yang di majelis-majelis mereka biasa membagikan lembaran-lembaran tafsiran suatu ayat atau hadits, padahal mereka tidak pernah belajar ilmu agama secara langsung kepada para ulama. Orang-orang semacam ini adalah golongan yang menyempal dan menyalahi para ulama Ushul Fiqh. Karena para ulama ushul berkata: “Qiyas adalah pekerjaan seorang mujtahid”. Mereka juga menyalahi para ulama ahli hadits.

BAB II
B I D ’ A H

Bid'ah dalam bahasa berarti sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya. Dalam pengertian syara' adalah sesuatu yang baru yang tidak terdapat secara eksplisit (tertulis) dalam al Qur'an maupun hadits.

Bid'ah terbagi menjadi dua bagian, sebagaimana dipahami dari hadits 'Aisyah –semoga Allah meridlainya- ia berkata : Rasulullah r bersabda :

"من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد"

Maknanya : "Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari'at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak".

Bagian pertama : Bid'ah Hasanah, juga dinamakan Sunnah Hasanah yaitu sesuatu yang baharu yang sejalan dengan al Qur'an dan Sunnah.

Bagian kedua : Bid'ah Sayyi-ah, juga dinamakan Sunnah Sayyi-ah yaitu sesuatu yang baharu yang menyalahi al Qur'an dan Sunnah.

Pembagian bid'ah ini juga dapat dipahami dari hadits Jarir ibn 'Abdillah al Bajali –semoga Allah meridlainya-, ia berkata : Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :

"من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص أجورهم شىء،ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزرمن عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزورهم شىء" (رواه مسلم)

Maknanya : "Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatan tersebut juga pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang sedikitpun pahala mereka, dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatan tersebut juga dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dosa-dosa mereka sedikitpun" (H.R. muslim)


Contoh bagian pertama : Peringatan maulid Nabi shallallahu 'alayhi wasallam di bulan Rabi'ul awwal. Orang yang pertama kali mengadakannya adalah raja al Muzhaffar penguasa Irbil pada abad  7 hijriyah. Pembuatan titik-titik dalam (huruf-huruf) al Qur'an oleh Yahya bin Ya'mur, salah seorang tabi'in yang agung. Beliau adalah seorang yang alim dan bertaqwa, perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli hadits dan lainnya, mereka menganggap baik hal ini sekalipun mushhaf tersebut tidak memakai titik saat Rasulullah mendiktekannya kepada para penulis wahyu. Begitu pula ketika 'Utsman bin 'Affan menyalin dan menggandakan mushhaf menjadi lima atau enam naskah tidak ada titk-titik (pada huruf-hurufnya). Sejak saat pemberian titik oleh Yahya bin Ya'mur itulah semua umat Islam hingga kini selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf al Qur'an. Apakah mungkin hal ini dikatakan sebagai bid'ah sesat sebab Rasulullah tidak pernah melakukannya ?!. Jika demikian halnya maka hendaklah mereka meninggalkan mushhaf-mushhaf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa Utsman. Abu Bakr bin Abu Dawud, anak penulis kitab Sunan, dalam kitabnya al Mashahif  berkata : "orang yang pertama kali membuat titik dalam Mushhaf adalah Yahya bin Ya'mur". Yahya bin Ya'mur adalah salah seorang ulama tabi'in yang meriwayatkan (hadits) dari sahabat Abdullah bin umar dan lainnya.

Contoh bagian kedua : hal-hal yang baharu dalam masalah aqidah, seperti bid'ahnya golongan Mu'tazilah, Khawarij dan mereka yang menyalahi apa yang telah menjadi keyakinan para sahabat nabi. Contoh lainnya seperti penulisan shad (ص) setelah nama Nabi sebagai pengganti shallahu 'alayhi wasallam صلى الله عليه وسلم .  Padahal para ahli hadits telah menegaskan dalam kitab-kitab Mushthalah al Hadits bahwa menuliskan shad (ص) saja setelah penulisan nama Nabi adalah makruh, namun begitu mereka tidak sampai mengharamkannya. Dengan demikian bagaimana bisa orang-orang yang suka membuat kegaduhan itu mengatakan bahwa perayaan maulid Nabi adalah bid'ah yang diharamkan dan bahwa bershalawat atas Nabi dengan suara yang keras setelah adzan adalah bid'ah yang diharamkan, dengan alasan bahwa Rasulullah dan atau para sahabatnya tidak pernah melakukannya ?!.

Termasuk bid'ah sayyi-ah juga merubah nama Allah (الله) menjadi "Aah" (ءاه) atau sejenisnya yang dilakukan oleh banyak orang dari mereka yang mengaku-ngaku sebagai pengikut tarekat, ini adalah bid'ah yang diharamkan.

Imam Syafi'i –semoga Allah meridlainya- berkata :

" المحدثات من الأمور ضربان، ماأحدث مما يخالف كتابا أو سنة أو إجماعا أو أثرا فهذه البدعة الضلالة، والثانية ما أحدث من الخير و لا يخالف كتابا أو سنة أو إجماعا وهذه محدثة غير مذمومة "

"Perkara yang baru terbagi menjadi dua bagian. Pertama sesuatu yang menyalahi al Qur'an, Sunnah, Ijma' atau Atsar (apa yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkari), inilah bid'ah yang sesat. Kedua perkara yang baru yang baik dan tidak menyalahi al Qur'an, Sunnah, maupun Ijma', inilah sesuatu yang baru yang tidak tercela ". (Diriwayatkan oleh al Bayhaqi dengan sanad yang sahih dalam kitabnya Manaqib asy-Syafi'i.)

BAB III
TAWASSUL DAN TABARRUK

   Dalam hadits shahih bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam mengajarkan kepada sebagian umatnya untuk berdo'a di belakangnya (tidak di hadapannya) dengan mengucapkan:

 "اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبينا محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي في حاجتي لتقضى لي"

Maknanya: "Ya Allah aku memohon dan memanjatkan do'a kepada-Mu dengan Nabi kami Muhammad; Nabi pembawa rahmat, wahai Muhammad, sesungguhnya aku memohon kepada Allah dengan engkau berkait dengan hajatku agar dikabulkan".

Orang tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah ini. Orang ini adalah seorang buta yang ingin diberi kesembuhan dari butanya, akhirnya ia diberikan kesembuhan oleh Allah di belakang Rasulullah (tidak di majlis Rasulullah) dan kembali ke majlis Rasulullah dalam keadaan sembuh dan bisa melihat. Seorang sahabat yang lain -yang menyaksikan langsung peristiwa ini, karena pada saat itu ia berada di majelis Rasulullah- mengajarkan petunjuk ini kepada orang lain pada masa khalifah Utsman ibn 'Affan –semoga Allah meridlainya- yang tengah mengajukan permohonan kepada khalifah Utsman.

Pada saat itu Sayyidina Utsman sedang sibuk dan tidak sempat memperhatikan orang ini. Maka orang ini melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh orang buta pada masa Rasulullah tersebut. Setelah itu ia  mendatangi Utsman ibn 'Affan dan akhirnya ia disambut oleh khalifah 'Utsman dan dipenuhi permohonannya. Umat Islam selanjutnya senantiasa menyebutkan hadits ini dan mengamalkan isinya hingga sekarang. Para ahli hadits juga menuliskan hadits ini dalam karya-karya mereka seperti al Hafizh at Thabarani – beliau menyatakan dalam "al Mu'jam al Kabir" dan "al Mu'jam ash-Shaghir": "Hadits ini shahih" [1] -, al Hafizh at-Turmudzi dari kalangan ahli hadits mutaqaddimin, juga al Hafizh an-Nawawi, al Hafizh Ibn al Jazari dan ulama muta-akhkhirin yang lain.

Hadits ini adalah dalil diperbolehkannya bertawassul dengan Nabi shallallahu 'alayhi wasallam pada saat Nabi masih hidup di belakangnya (tidak di hadapannya). Hadits ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul dengan Nabi setelah beliau wafat seperti diajarkan oleh perawi hadits tersebut, yaitu sahabat Utsman ibn Hunayf kepada tamu sayyidina Utsman, karena memang hadits ini tidak hanya berlaku pada masa Nabi hidup tetapi berlaku selamanya dan tidak ada yang menasakhkannya. Dari sini diketahui bahwa orang-orang Wahhabi yang menyatakan bahwa tawassul adalah syirik dan kufur berarti telah mengkafirkan ahli hadits tersebut yang mencantumkan hadits-hadits ini untuk diamalkan. Semoga Allah melindungi kita dari paham yang tidak lurus seperti paham orang-orang wahhabi ini. [2]

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya dari Abu Sa'id al Khudri –semoga Allah meridlainya-, ia berkata, Rasulullah bersabda :

"من خرج من بيته إلى الصلاة فقال : اللهم إني أسألك بحق السائلين عليك وبحق ممشاي هذا فإني لم أخرج  أشرا ولا بطرا ولا ريآء ولا سمعة خرجت اتقاء سخطك وابتغاء مرضاتك فأسألك أن تنقذنـي من النار وأن تغفر لي ذنوبي إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت ، أقبل الله عليه بوجهه واستغفر له سبعون ألف ملك" (رواه أحمد في المسند والطبراني في الدعاء وابن السني في عمل اليوم والليلة والبيهقي في الدعوات الكبير وغيرهم وحسن إسناده الحافظ ابن حجر والحافظ أبو الحسن المقدسي والحافظ العراقي والحافظ الدمياطي وغيرهم). ومعنى "أقبل الله عليه بوجهه" ليس على ظاهره بل هو مؤول بمعنى الرضا عنه .


Maknanya: "Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di masjid) kemudian ia berdo'a: "Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan derajat orang-orang yang saleh yang berdo'a kepada-Mu (baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal) dan dengan derajat langkah-langkahku ketika berjalan ini, sesungguhnya aku keluar rumah bukan untuk menunjukkan sikap angkuh dan sombong, juga bukan karena riya dan sum'ah, aku keluar rumah untuk menjauhi murka-Mu dan mencari ridla-Mu, maka aku memohon kepada-Mu: selamatkanlah aku dari api neraka dan ampunilah dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, maka Allah akan meridlainya dan tujuh puluh ribu malaikat memohonkan ampun untuknya" (H.R. Ahmad dalam "al Musnad", ath-Thabarani dalam "ad-Du'a", Ibn as-Sunni dalam" 'Amal al Yaum wa al-laylah", al Bayhaqi dalam Kitab "ad-Da'awat al Kabir" dan selain mereka, sanad hadits ini dihasankan oleh al Hafizh Ibn Hajar, al Hafizh Abu al Hasan al Maqdisi, al Hafizh al 'Iraqi, al Hafizh ad-Dimyathi dan lain-lain).


Dalam hadits ini juga terdapat dalil dibolehkannya bertawassul dengan para shalihin, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Hadits ini adalah salah satu dalil Ahlussunnah Wal Jama'ah untuk membantah golongan Wahhabi yang mengharamkan tawassul dan mengkafirkan pelakunya.  [3}


Sedangkan tentang mengambil berkah dengan berziarah ke makam para nabi dan wali, Rasulullah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi Musa berdoa :
" ربّ أدنني من الأرض المقدسة رمية بحجر "

Maknanya: "Ya Allah dekatkanlah aku ke Tanah Bayt al Maqdis meskipun sejauh lemparan batu"


Kemudian Rasulullah bersabda :

" والله لو أني عنده لأريتكم قبـره إلى جنب الطريق عند الكثيب الأحمر"

Maknanya : "Demi Allah, jika aku di dekat kuburan Nabi Musa niscaya akan aku perlihatkan kuburannya kepada kalian di samping jalan di daerah al Katsib al Ahmar"


Al Hafizh Waliyyuddin al 'Iraqi berkata : "Dalam hadits ini terdapat dalil kesunnahan untuk mengetahui kuburan orang-orang yang saleh untuk berziarah ke sana dan memenuhi hak-haknya". Karena itu para ahli hadits seperti al Hafizh Syamsuddin ibn al Jazari mengatakan dalam kitabnya 'Uddah al Hishn al Hashin :

ومن مواضع إجابة الدعاء قبور الصالـحين

Maknanya: " Di antara tempat dikabulkannya doa adalah kuburan orang-orang yang saleh "

Apalagi jika itu adalah kuburan Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam seperti yang dilakukan oleh sahabat Bilal ibn al Harits al Muzani (H.R. al Bayhaqi, Ibn Abi Syaybah dan lain-lain dan dishahihkan oleh al Bayhaqi dan Ibnu Katsir). Hal ini juga dilakukan oleh al Imam asy-Syafi'i terhadap kuburan al Imam Abu Hanifah.

___________________________________
[1].     Para ahli hadits (Hafizh) telah menyatakan bahwa hadits ini shahih, baik yang marfu' maupun kadar yang mawquf (peristiwa di masa sayyidina 'Utsman), di antaranya al Hafizh ath-Thabarani. Masalah tawassul dengan para nabi dan orang saleh ini hukumnya boleh dengan ijma' para ulama Islam sebagaimana dinyatakan oleh ulama madzhab empat seperti al Mardawi al Hanbali dalam Kitabnya al Inshaf, al Imam as-Subki asy-Syafi'i dalam kitabnya Syifa as-Saqam, Mulla Ali al Qari al Hanafi dalam Syarh al Misykat, Ibn al Hajj al Maliki dalam kitabnya al Madkhal
.
[2].     Golongan Wahhabi adalah pengikut Muhammad ibn Abdul Wahhab an-Najdi. Mereka menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, mengkafirkan orang-orang yang bertawassul dengan para nabi dan orang-orang shalih, mengharamkan peringatan maulid Nabi dan membaca al Qur'an untuk orang-orang muslim yang sudah meninggal dan mereka memiliki banyak kesesatan-kesesatan yang lain. Para ulama Ahlussunnah banyak sekali yang membantah mereka ini seperti Mufti Madzhab Syafi'i di Makkah al Mukarramah Syekh Ahmad Zaini Dahlan (W. 134 H) dalam kitab tarikh yang salah satu fasalnya berjudul Fitnah al Wahhabiyyah, Mufti madzhab Hanbali di Makkah al Mukarramah Syekh Muhammad ibn Abdullah ibn Humaid (W. 1295 H) dalam kitabnya as-Suhub al Wabilah 'Ala Dlara-ih al Hanabilah, Syekh Ibn 'Abidin al Hanafi (W. 1252 H) dalam Hasyiyahnya, Syekh Ahmad ash-Shawi al Maliki (W. 1241 H) dalam kitabnya Hasyiyah 'Ala Tafsir al Jalalain. Bagi yang menginginkan penjelasan yang panjang lebar baca kitab al Maqalat as-Sunniyyah fi Kasyfi Dlalalat Ahmad ibn Taimiyah.

[3]. Di antara orang yang menyalahi Ahlussunnah dalam masalah ini adalah Yusuf al Qardlawi. Ia menyatakan bahwa bertabarruk dengan peninggalan orang-orang yang saleh termasuk syirik -wal 'iyadz billah- sebagaimana ia tuturkan dalam kitabnya al Ibadah fi al Islam. Kesesatan al Qardlawi yang lain adalah seperti pernyataan bahwa Rasulullah bisa saja salah dalam hal agama seperti ia sampaikan lewat layar televisi al Jazirah, 12 september 1999. Al Qardlawi juga membolehkan bagi seorang perempuan yang masuk Islam untuk tetap menjadi istri suaminya yang kafir sebagaimana diangkat oleh Koran asy-Syarq al Awsath juga di situs-situs internet. Al Qardlawi juga melarang membaca al Fatihah untuk orang-orang Islam yang meninggal dunia, hal ini ia sampaikan lewat stasiun TV al Jazirah. Telah banyak para ulama Islam yang membantah al Qardlawi di antaranya adalah Syekh Nabil al Azhari, Syekh Khalil Daryan al Azhari, Mantan Menteri Agama dan Urusan Wakaf Emirat Arab Syekh Muhammad ibn Ahmad al Khazraji, Rektor al Azhar University Dr. Ahmad Umar Hasim, Dr. Shuhaib asy-Syami (Amin Fatwa Halab, Syiria), al Muhaddits Syekh Abdul Hayy al Ghumari, Dr. Sayyid Irsyad Ahmad al Bukhari dan lain-lain. Di antara ulama Indonesia yang membantah al Qardlawi adalah Habib Syekh ibn Ahmad al Musawa. Karena ini semua maka kita harus mewaspadai karya-karya al Qardlawi.

BAB IV
ZIARAH KE MAKAM RASULULLAH SAW

Sebagian orang yang mengaku dirinya sebagai ulama mengklaim bahwa melakukan perjalanan (safar) dengan tujuan ziarah ke makam nabi atau wali adalah maksiat yang haram dilakukan. Pernyataan ini sama sekali tidak berdasar. Bahkan bertentangan dengan ijma' (kesepakatan para ulama) dari kalangan madzhab yang empat dan juga ulama selain madzhab empat. Yakni ulama sejati yang dapat dipercaya fatwa-fatwa mereka.

Ziarah ke makam nabi hukumnya adalah sunnah. Baik bagi orang yang berdomisili di Madinah maupun bagi mereka yang tinggal jauh dari Madinah. Tegasnya, menempuh perjalanan dari luar kota Madinah ke Madinah dengan niat hanya berziarah ke makam beliau adalah sunnah dan sudah barang tentu pelakunya mendapat pahala dari Allah 'azza wajalla.

Banyak hadits dan atsar yang bisa dijadikan dalil atas hal ini. Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, ath-Thabarani dalam al Mu'jam al Kabir dan al Awsath dan al Hakim dalam Mustadrak-nya bahwasanya "pada suatu hari datang Marwan (Marwan ibn al Hakam, salah seorang khalifah bani Umayyah). Dia mendapati seseorang meletakkan wajahnya di atas makam Rasulullah (karena rindu dan ingin memperoleh berkah dari beliau). Marwan menghardik orang itu: "Tahukah kamu apa yang sedang kamu perbuat ?", lalu orang itu menoleh dan ternyata dia adalah Abu Ayyub al Anshari (salah seorang sahabat nabi) kemudian berkata: "Ya, aku mendatangi Rasulullah dan aku tidak mendatangi sebongkah batu, aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda: "Jangan tangisi agama ini jika ia dikendalikan oleh ahlinya, tetapi tangisilah agama ini apabila ia dikendalikan oleh yang bukan ahlinya". Maksudnya, Anda, wahai Marwan tidak layak menjadi khalifah.

Ibn Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda:

"مَنْ جَاءَنِيْ زائِرًا لاَ يَهُمُّهُ إلاَّ زِيَارَتِيْ كَانَ حَقًّا عَلَيَّ أنْ أكُوْنَ لَهُ شَفِيْعًا" (رَوَاهُ الطَّبَرَانِي)

Maknanya: "Barangsiapa mendatangiku untuk berziarah, tidak ada tujuan lain kecuali ziarah (ke makam) ku maka sungguh menjadi hak bagiku untuk memberikan syafa'at kepadanya" (H.R. ath-Thabarani dan dishahihkan oleh al Hafidz Sa'id ibn as-Sakan dalam as-Sunan as-Shihah; kitab yang beliau karang khusus memuat hadits-hadits yang disepakati kesahihannya, seperti halnya Shahih al Bukhari dan Shahih Muslim, lihat: Ithaf as-Sadah al Muttaqin karya al Hafizh az-Zabidi, juz IV, hlm. 416).

Dalam hadits lain, beliau bersabda:

"مَنْ زَارَ قَبْرِيْ وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِيْ" (رَوَاهُ الدَّارَ قُطْنِيّ)

Maknanya: “Barangsiapa berziarah ke makamku maka pasti akan memperoleh syafa'atku". (H.R. ad-Daraquthni, dan adz-Dzahabi berkomentar: "Hadits ini menjadi kuat dengan adanya jalur sanad yang berbeda-beda", lihat: Manahil ash-Shafa fi Takhrij Ahadits asy-Syifa karya  as-Suyuthi, hlm. 308).


Dalam kitab Wafa' al Wafa, juz IV, hlm. 1045, as-Samhudi meriwayatkan bahwa  Bilal ibn Rabah ketika berada di daerah Syam bermimpi melihat Rasulullah bersabda kepadanya: "Sudah lama engkau tidak mengunjungiku wahai Bilal...!" (Ma hadzihi al jafwah). Ketika terjaga dari tidurnya, Bilal langsung menaiki hewan tunggangannya dan bergegas menuju Madinah. Setelah sampai di makam Rasulullah, ia meneteskan air mata dan membolak-balikkan wajahnya di atas tanah makam Rasulullah ".

Al-Hakim meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
" لَيَهْبَطَنَّ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا عَدْلاً وَإِمَامًا مُقْسِطًا وَلَيَسْلُكَنَّ فَجًّا حَاجًّا أوْ مُعْتَمِرًا أوْ بِنِيَّتِهِمَا وَلَيَأْتِيَنَّ قَبْرِيْ حَتَّى يُسَلِّمَ عَلَيَّ وَلأرُدَنَّ عَلَيْه "  رَوَاهُ الحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ الذَّهَبِيّ

Maknanya: “Sungguh, Isa ibn Maryam akan turun menjadi penguasa dan Imam yang adil, dia akan menempuh perjalanan untuk pergi haji atau umrah atau dengan niat keduanya dan sungguh, dia akan mendatangi makamku sehingga berucap salam kepadaku dan aku pasti akan menjawabnya" (diriwayatkan oleh al Hakim dalam al Mustadrak dan dishahihkannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi).


Al Hafizh 'Abdurrahman ibn al Jawzi mengisahkan dalam kitabnya, al Wafa bi Ahwaal al Musthafa dan kisah ini juga dituturkan oleh al Hafizh adl-Dliya' al Maqdisi bahwa Abu Bakr al Minqari berkata: "Adalah aku, ath-Thabarani dan Abu asy-Syaikh berada di Madinah. Kami dalam suatu keadaan dan kemudian rasa lapar melilit perut kami, pada hari itu kami tidak makan. Ketika tiba waktu Isya', aku mendatangi makam Rasulullah dan mengadu: “Wahai Rasulullah! lapar...lapar”, lalu aku kembali. Abu as-Syaikh berkata kepadaku: "Duduklah, (mungkin) akan ada rizqi atau (kalau tidak, kita akan) mati". Abu Bakr melanjutkan kisahnya: "Kemudian aku dan Abu asy-Syaikh beranjak tidur sedangkan ath-Thabarani duduk melihat sesuatu. Tiba-tiba datanglah seorang 'Alawi (sebutan bagi orang yang memiliki garis keturunan dengan Ali dan Fatimah) lalu ia mengetuk pintu dan ternyata ia ditemani oleh dua orang pembantu yang masing-masing membawa panci besar yang di dalamnya  ada banyak makanan. Maka kami duduk lalu makan. Kami mengira sisa makanan akan diambil oleh pembantu itu, tapi ternyata ia meninggalkan kami dan membiarkan sisa makanan itu ada pada kami. Setelah kami selesai makan, 'Alawi  itu berkata: "Wahai kaum, apakah kalian mengadu kepada Rasulullah?, sesungguhnya aku tadi mimpi melihat beliau dan beliau menyuruhku untuk membawakan sesuatu kepada kalian". Dalam kisah ini, secara jelas dinyatakan bahwa menurut mereka, mendatangi makam Rasulullah untuk meminta pertolongan (al Istighatsah) adalah boleh dan baik. Siapapun mengetahui bahwa mereka bertiga (terutama, ath-Thabarani, seorang ahli hadits kenamaan) adalah ulama–ulama besar Islam. Dan kalau mau ditelusuri, banyak sekali cerita–cerita semacam ini .

Dalam kitab asy-Syifa bi Ta'rif Huquq al Mushthafa, al Qadli 'Iyadl menulis: "Ketika khalifah al Manshur menunaikan ibadah haji lalu ziarah ke makam Rasulullah, ia bertanya kepada Imam Malik (guru Imam Syafi'i): "Aku menghadap kiblat dan berdo'a ataukah aku menghadap (makam) Rasulullah?". Imam Malik menjawab: "Kenapa anda memalingkan wajah dari beliau sedangkan beliau adalah wasilah anda dan wasilah bapak anda, Adam ‘alayhissalam ?, menghadaplah kepada beliau dan berdo'alah kepada Allah agar anda memperoleh syafa'at dari beliau, niscaya Allah akan menjadikan beliau pemberi syafaat bagi anda". Cerita ini adalah shahih tanpa ada perselisihan pendapat, sebagaimana yang dikatakan Imam Taqiyyuddin al Hushni (lihat: Daf'u Syubah man Syabbaha wa Tamarrada, hlm. 74 dan 115).

Dalam kitab Tuhfah Ibn 'Asakir, sebagaimana dikutip oleh as-Samhudi dalam Wafa' al Wafa, juz IV, hlm. 1405 bahwa ketika Rasulullah dimakamkan, Fatimah datang kemudian berdiri di samping makam beliau lalu mengambil segenggam tanah dari makam dan ia letakkan (sentuhkan) tanah itu ke matanya kemudian ia menangis…".

Dalam kitab al Ilal wa Ma'rifat ar-Rijal, juz II, hlm. 35, dituturkan bahwa aku (Abdullah, putra Ahmad ibn Hanbal) bertanya kepadanya (kepada ayahnya, Imam Ahmad) tentang orang yang menyentuh mimbar nabi dengan niat agar mendapatkan berkah dengan menyentuh dan menciumnya, dan melakukan hal yang sama atau semacamnya terhadap makam Rasulullah dengan niat mendekatkan diri kepada Allah 'azza wajalla.  Imam Ahmad menjawab: "Tidak mengapa (la ba'sa bi dzalik)".

Lebih dari itu, para ulama dalam kitab-kitab karangan mereka telah menjelaskan bahwa ziarah ke makam Rasulullah hukumnya adalah sunnah dan selalu disebutkan dalam rangkaian manasik haji (lihat kitab-kitab fiqh tentang manasik haji seperti al Idlah karya an-Nawawi, at-Tadzkirah karya Ibn 'Aqil al Hanbali dan lain-lain). Dan hukum kesunnahan itu adalah ijma'. Di antara mereka yang menegaskan hal tersebut adalah Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam kitab Syifa' as-Saqam Fi Ziyarah Khair al Anam, hlm. 65-66, al Qadli 'Iyadl al Maliki dalam karyanya asy-Syifa bi Ta'rif Huquq al Mushthafa juz II, hlm. 83, Imam an-Nawawi dalam Matn al 'Idlah fi al Manasik, hlm. 156, beliau mengatakan tentang ziarah ke makam Rasulullah:

"فَإِنَّهَا مِنْ أهَمِّ القُرُبَاتِ وَأنْجَحِ المَسَاعِي"


Maknanya: “Ia tergolong hal terpenting untuk mendekatkan diri kepada Allah dan termasuk usaha paling sukses (baik)".


Selanjutnya adalah al Hafizh adl Dliya' al Maqdisi dalam Fadlail al A'mal, hlm. 108, beliau menuturkan beberapa hadits sebagai dalil penguat hal itu, di antaranya:

          "مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِيْ بَعْدَ وَفَاتِي فَكَأنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي"


Maknanya: “Barangsiapa pergi haji kemudian ziarah ke makamku setelah aku wafat maka seakan-akan ia telah mengunjungiku sewaktu aku masih hidup".


Ulama lain yang menyatakan kesunnahan ziarah ke makam Rasulullah adalah al Hafizh Ibn Hajar al 'Asqalany dalam Fath al Bari juz III, hlm. 65-66, Syekh Taqiyyuddin al Hushni (pengarang Kifayatul Akhyar) dalam kitabnya Daf'u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrada hlm. 94-95, al Hafizh Abu Zur'ah al 'Iraqi dalam Tharh at-Tatsrib Fi Syarh at-Taqrib hlm. 43, Syekh Ibn Hajar al Haytami dalam al Jawhar al Munazhzham Fi Ziyarah al Qabr asy-Syarif an-Nabawi al Mukarram hlm. 27-28 dan masih banyak lagi yang lain.

Seseorang yang berziarah ke makam Rasulullah dianjurkan untuk berdo'a di sana, sebagaimana hal itu disebutkan oleh ulama-ulama empat madzhab. Di antaranya adalah Imam Abu Abdillah as-Samiri dalam al Mustaw'ab, an-Nawawi dalam al 'Idlah, Abu Mansur al Kirmani al Hanafi dan lain-lain (lihat nama-nama dan pernyataan mereka mengenai hal ini dalam Daf'u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrada, hlm. 115-116).

Terakhir, penting untuk diketahui bahwa ziarah ke makam Rasulullah atau ke makam orang-orang shaleh lainnya bukan berarti menyembah mereka. Mereka hanyalah wasilah (perantara) kita kepada Allah dalam berdo'a. Karenanya, al Imam Syamsuddin Ibn al Jazary —seorang imam besar dalam hadits dan ilmu qira'at—menyatakan:

"مِنْ مَوَاضِع إجَابَةِ الدُّعَاءِ قُبُوْرُ الصَّالِحِيْنَ"


Maknanya: “Termasuk tempat yang sering menyebabkan do'a terkabul adalah kuburan orang-orang yang shaleh". (al Hishn al Hashin dan 'Uddah al Hishn al Hashin).


Kalau ada orang yang berziarah ke suatu makam dengan niat menyembah orang yang ada dalam makam atau dengan membawa keyakinan bahwa si mayit bisa mendatangkan manfaat atau menolak bahaya dengan sendirinya tanpa seizin Allah, tentu saja, dia adalah musyrik.

BAB V
HUKUM IKHTHILATH ANTARA KAUM LAKI-LAKI DAN KAUM PEREMPUAN

   Ketahuilah bahwa sikap berlebih-lebihan dalam agama adalah sikap yang tidak seharusnya. Yang dituntut dalam hal ini adalah bersikap adil. Dengan demikian tidak boleh bagi siapapun menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, atau sebaliknya; menghalalkan sesuatu yang telah diharamkannya. Allah berfirman:

) قل يا أهل الكتاب لا تغلوا في دينكم(   (سورة المائدة: 77)

Maknanya: "Katakanlah [wahai Muhammad] wahai ahli kitab jangalah kalian berlebih-lebihan dalam beragama kalian". (Q.S. al Ma-idah : 77)


Rasulullah berkata kepada Ibn ‘Abbas di Muzdalifah saat melaksanakan haji: “Ambilkan batu [untuk melempar jumrah] untukku”. Kemudian Ibnu ‘Abbas memungut batu seukuran khazaf (kerikil sedang). Rasulullah bersabda: “(dengan) Batu-batu seukuran inilah (kalian melempar jumrah), jauhilah oleh kalian intuk berlebih-lebihan dalam urusan agama, sesungguhnya berlebih-lebihan dalam agama telah menghancurkan orang-orang sebelum kalian”.

Ada pendapat sebagian orang yang berlebih-lebihan dalam menyikapi hukum ikhthilath. Mereka mengharamkan apa yang tidak diharamkan Allah. Mereka mengharamkan berkumpulnya kaum laki-laki dan kaum perempuan, padahal bukan khalwah [berdua-duaan], tidak terdapat persentuhan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan dan kaum perempuan tersebut menutup aurat [tidak membuka kepala atau semacamnya]. Orang yang mengharamkan semacam ini hanya mengada-ada; mereka tidak memiliki dalil.

Ikhthilath terbagi kepada dua bagian; ikhthilath yang boleh dan ikhthilath yang diharamkan. Ikhthilath yang boleh adalah yang tanpa adanya persentuhan antara tubuh dan bukan khalwat (berdua-duaan) yang diharamkan. Ikhthilath yang diharamkan adalah yang terdapat persentuhan [berbaur hingga bersentuhan] antara kaum laki-laki dan perempuan. Hal ini seperti yang telah dijelaskan oleh Syekh Ibn Hajar al-Haytami dalam al-Fatawa al-Kubra, dan syekh Ahmad ibn Yahya al-Wansyuraysyi [ulama abad 10 H] dalam karyanya al-Mi’yar al-Mu’rib; sebuah kitab yang memuat fatwa-fatwa ahli fiqh daerah Maghrib (Maroko).

Al-Bukhari [4] , Muslim [5] , at-Tirmidzi [6] dan an-Nasa’i [7] meriwayatkan dari Abi Hurairah bahwa salah seorang sahabat datang kepada Nabi. Nabi kemudian menyuruh para isterinya untuk menjamunya sebagai tamu, tapi mereka berkata: “Kita tidak memiliki apapun (untuk jamuan) kecuali air”. Kemudian Nabi berkata di hadapan para sahabatnya: “Siapakah yang siap menjadikannya sebagai tamu?”. Salah seorang sahabat dari kaum Anshar berkata: “Saya wahai Rasulullah”. Kemudian ia membawa tamu tersebut menuju rumahnya. Ia berkata kepada isterinya: “Muliakanlah tamu Rasulullah ini !”. Sang isteri menjawab: “Kita tidak memiliki jamuan kecuali makanan anak kita”. Sahabat Anshar berkata: “Siapkanlah makanan itu, hidupkanlah lampu dan tidurkanlah anak-anakmu jika saat [kita hendak] makan malam !”. Kemudian sang isteri menyiapkan makanan, menghidupkan lampu dan menidurkan anak-anaknya. Setelah itu ia mendekati lampu seakan hendak membenarkannya, namun ia malah memadamkannya. Kemudian kedua suami isteri ini mengerak-gerakkan tangannya memperlihatkan kepada tamu seakan-akan sedang makan. Akhirnya keduanya tidur malam dalam keadaan lapar. Saat menghadap Rasulullah di pagi harinya, Rasulullah bersabda:


" ضحك الله الليلة أو عجب من فعالكما"


Kemudian turun firman Allah:
) ويؤثرون على أنفسهم ولو كان بهم خصاصة، ومن يوق شح نفسه فأولئك هم المفلحون (  (سورة الـحشر:9)


Makna [ضحك] dalam hadits di atas “meridlai” bukan berarti “tertawa” layaknya manusia. (artinya Allah meridlai apa yang kalian kerjakan tadi malam). Sebagaimana hal ini dinyatakan al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari [8]. Dalam hal ini jelas sahabat Anshar dan isterinya duduk bertiga dengan tamu, sebagaimana layaknya berkumpul saling berdekatan antara orang-orang yang sedang makan. Dan Rasulullah dalam hal ini tidak mencegahnya.

   Al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahih [9]-nya dari Sahl, berkata: “Ketika Abu Usaid as-Sa’idi menjadi pengantin, ia mengundang Rasulullah dan para sahabatnya. Tidak ada yang membuat makanan bagi para tamu (undangannya) tersebut juga tidak mendekatkan (membawa) makanan kepada mereka kecuali isterinya; Ummu Usaid”.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Dalam hadits ini terdapat keterangan tentang kebolehan berkhidmahnya seorang isteri terhadap suaminya dan para tamunya. Tentunya hal ini bila saat aman dari adanya fitnah, juga perempuan tersebut harus dengan menjaga apa yang seharusnya [menutup aurat]. Juga dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa seorang suami boleh meminta tolong [khidmah] kepada isteri” [10].

Ibn al Mundzir, salah seorang imam mujtahid, dalam kitabnya al-Awsath, berkata: “Mengkhabarkan kepada kami ‘Ali ibn ‘Abd al-‘Aziz, ia berkata:: Mengkhabarkan kepada kami Hajjaj, ia berkata:: Mengkhabarkankan kepada kami dari Tsabit dan Humaid dari Anas, beliau berkata: Kami bersama Abu Musa al-Asy’ari, kami shalat di al-Mirbad, kemudian kami duduk di masjid al-Jami’, dan kami melihat al-Mughirah ibn Syu’bah shalat bersama orang banyak, kaum laki-laki dan kaum perempuan bercampur, lalu kamipun shalat bersamanya” [11].

Ibnu Hibban meriwayatkan dari Sahl ibn Sa’d, berkata: “Kami kaum perempuan di masa Rasulullah diperintah untuk tidak mengangkat kepala hingga kaum laki-laki mengambil tempat duduknya masing-masing, karena sempitnya pakaian [yang mereka kenakan]” [12].

Dua hadits di atas merupakan dalil bahwa berkumpulnya kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam satu tempat adalah sesuatu yang boleh, sekalipun tidak ada penghalang (sitar) antara mereka. Artinya bahwa ikhthilath antara kaum laki-laki dan kaum perempuan adalah hal yang boleh selama tidak ada persentuhan. Adapun ikhtilath yang diharamkan adalah yang disertai dengan adanya persentuhan tubuh.

An-Nawawi dalam syarahnya terhadap kitab al-Muhadzdzab, berkata: “...karena sesungguhnya ikhtilath antara kaum laki-laki dan kaum perempuan jika bukan khalwah adalah sesuatu yang bukan haram” [13].

Perkataan an-Nawawi di atas sesuai dengan petunjuk hadits Ibn ‘Abbas, bahwa Rasulullah bersabda bagi kaum perempuan saat mereka berbaiat:
" إنما أنبئكن عن المعروف الذي لا تعصينني فيه أن لا تخلون بالرجال وحدانا ولا تنحن نوحة الجاهلية "

Maknanya : "Aku beritahukan kepada kalian tentang kabaikan (al-Ma’ruf) yang tidak boleh kalian durhaka kepadaku dalam hal ini; [ialah] janganlah kalian berkhalwah dengan kaum laki-laki dalam keadaan sendiri dan janganlah kalian menjerit-jerit [an-Niyahah; karena kematian seseorang] seperti menjerit-jeritnya kaum jahiliyah". (H.R. Al-Hafizh Ibnu Jarir at-Thabari)


Para ulama fiqh telah mencatat bahwa bila ada dua orang laki-laki bersama dengan satu orang perempuan atau dua orang perempuan dengan satu orang laki-laki bukan tergolong khalwah yang diharamkan. Syekh Zakariyya al-Anshari asy-Syafi’i dalam Syarh Raudl ath-Thalib, berkata: “Boleh bagi seorang laki-laki untuk berkumpul dengan dua orang perempuan yang dapat dipercaya [tsiqah]” [14]. Demikian pula disebutkan oleh Syekh Muhammad al-Amir al-Maliki [15].

Yang diharamkan adalah khalwah antara satu orang laki-laki dengan satu orang perempuan, sebagaimana diterangkan dalam  hadits Nabi:
" لا يخلون رجل بامرأة إلا كان ثالثهما الشيطان "

Maknanya: "Tidaklah sekali-kali seorang laki-laki berkhalwah dengan seorang perempuan kecuali orang ketiganya adalah syetan". Hadits Shahih riwayat at-Tirmidzi [16].

Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:

" لا يدخلن رجل على مغيبة إلا ومعه رجل أو رجلان "

Maknanya: "Janganlah seorang laki-laki masuk [rumah] seorang perempuan yang sedang ditinggal suaminya, kecuali bersamanya satu laki-laki lain atau dua laki-laki”. (H.R. Muslim [17] dan lainnya [18])

Hukum yang diintisarikan dari hadits-hadits di atas ialah bahwa berkumpulnya antara laki-laki dan perempuan jika tiga orang atau lebih adalah sesuatu yang boleh. Kebolehan ini berlaku dalam berbagai keadaan [mutlak]; baik untuk kepentingan dunia selama tidak mengandung kemaksiatan, maupun untuk kepentingan agama; seperti belajar ilmu agama atau dzikir. Dengan keharusan perempuannya menutup aurat.

Dengan demikian orang yang mengharamkan berkumpulnya kaum laki-laki dan kaum perempuan terlebih dengan tujuan belajar ilmu agama maka ia telah mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan Allah. Ini jelas merupakan kesesatan dan kebodohan. Padahal dalam hadits telah diriwayatkan bahwa kaum perempuan shalat berjama’ah bersama Rasulullah. Mereka berada di barisan belakang setelah barisan kaum laki-laki, dan di antara mereka tidak ada penghalang (sitar). Kemudian juga dalam Shahih al-Bukhari [19] diriwayatkan bahwa Rasulullah menyuruh kaum perempuan di hari raya untuk ikut shalat ied di satu tempat di Madinah di dekat masjid [nabawi]. Saat itu banyak kaum perempuan muda shalat ied di belakang Rasulullah, sementara kaum perempuan lainnya yang sedang haidl menyaksikan dari jauh, untuk mendapatkan kebaikan. Dalam beberapa kesempatan lainnya Rasulullah turun langsung bersama Bilal di mendatangi (menghampiri) kaum perempuan untuk memberikan wejangan kepada mereka. Kemudian dalam Shahih al-Bukhari ada sebuah bab yang beliau namakan dengan: “Bab Nasehat Imam [pemimpin] bagi kaum perempuan di hari raya”.

Dan karena itulah tradisi kaum Muslimin masih berlanjut dari dahulu hingga sekarang bahwa para ulama menentukan waktu dan tempat khusus di samping masjid atau di tempat lainnya untuk mengajar kaum perempuan.

Setelah penjelasan panjang lebar yang dikutip dari hadits-hadits shahih dan pernyataan para ulama di atas, tidak layak bagi seseorang untuk membangkang. Apakah yang diharapkan dari sikap membangkang jika hadits-hadits shahih merupakan dalil ?. Para ulama mujtahid memberikan tauladan kepada kita untuk berpegang teguh dengan teks-teks syari’at yang memang shahih. Simak bagaimana pernyataan Imam as-Syafi’i: “Jika sebuah hadits telah shahih maka itulah madzhabku”. As-Syafi’i seorang ulama mujtahid berkata demikian, lantas siapakah si pembangkang itu dibanding asy-Syafi’i ?!.



___________________________________
[4]       Shahih al-Bukhari: Kitab Manaqib al-Anshar: Bab firman Allah: [ ويؤثرون على أنفسهم ولو كان بهم خصاصة].

[5]       Shahih Muslim: Kitab al-Asyribah: Bab Ikram adl-Dlaif wa Fadli itsarihi.

[6]       Sunan at-Tirmidzi: Kitab Tafsir al-Qur’an min Surat al-Hasyr. Ia berkata hadits shahih.

[7]       Sunan an-Nasa’i al-Kubra: Kitab at-Tafsir: Bab firman Allah: [ويؤثرون على أنفسهم ولو كان بهم خصاصة].

[8]       Fath al-Bari (7/120)

[9]       Shahih al-Bukhari: Kitab an-Nikah: Bab Qiyam al-Mar’ah ‘Ala ar-Rijal Fi al-‘Urs wa khidmatihim bi an-Nafs.

[10]     Fath al-Bari (9/251)

[11]     Lihat Kitab al-Ausat (2/401)

[12]     Lihat al-Ihsan Bi Tartib Shahih Ibn Hibban (3/317)

[13]     al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (4/484)

[14]     Lihat Syarh ar-Raudl (3/407)

[15]     Lihat Hasyiat al-Amir ‘Ala al-Majmu’ (1/215)

[16]     Jami’ at-tirmidzi: Kitab ar-Radla’.

[17]     Shahih Muslim: Kitab as-Salam: Bab Tahrim al-Khalwah bi al-Mar’ah al-Ajnabiyyah.

[18]     Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (7/442) dan Ahmad dalam Musnad-nya (2/171, 176, 213).

[19]     Shahih al-Bukhari: Kitab al-‘Idain: Bab Khuruj an-Nisa wa al-Huyyadl Ila al-Mushalla.


BAB VI
HUKUM BERJABAT TANGAN ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DENGAN TANPA PENGHALANG

Ibnu Hibban [20] meriwayatkan dari Umaimah binti Ruqaiqah, dan Ishaq ibn Rahawaih [21] dari Asma’ binti Yazid bahwa Rasulullah bersabda:
" إنـي لا أصافح النسـاء "

Maknanya: "Sesungguhnya saya tidak berjabat tangan dengan kaum perempuan". (H.R. Ibn Hibban dan dishahihkannya. Sementara sanad Ishaq ibn Rahawaih dinyatakan Ibn Hajar sebagai sanad yang hasan)
Sedangkan pernyataan Ummu ‘Athiyyah [22] yang mengatakan bahwa Rasulullah membaiat kaum perempuan, lalu ia membacakan firman Allah:

) أن لا يشركن بالله شيئا (  (سورة الممتحنة :12)

Maknanya: "Janganlah kalian menyekutukan Allah".  (Q.S. al Mumtahanah : 12)

Juga Rasulullah membaiat mereka untuk tidak berbuat niyahah (menjerit-jerit karena kematian seseorang seperti yang dilakukan kaum jahiliyah). Tiba-tiba salah seorang perempuan memegang tangannya sambil berkata: “Ada seseorang [perempuan] yang membuatku bahagia, aku ingin membalas [kebaikannya]”. Rasulullah tidak berkata apapun, lalu perempuan tersebut pulang dan kembali lagi [dengan orang yang hendak ia datangkan], dan kemudian Rasulullah membaiat perempuan tersebut.

Apa yang dinyatakan Ummi ‘Athiyyah ini maknanya bukan bersentuhan antara kulit dengan kulit. Tetapi maknanya ialah bahwa mereka; kaum perempuan dibaiat Rasulullah dengan isyarat lewat tangan dengan tanpa ada persentuhan. Hadits ini harus dipahami demikian hingga sejalan maknanya dengan hadits sebelumnya. Karena dua hadits yang tsabit [yang zhahirnya bertentangan] harus disatukan selama dimungkinkan; tidak boleh membatalkan salah satu dari keduanya. Artinya jika memang kedua hadits tersebut adalah hadits yang shahih.

Di antara yang menguatkan pernyataan ini adalah apa yang dinyatakan Ibn al-Jauzi dalam tafsirnya [23]: “Dan telah shahih dalam hadits bahwa Rasulullah tidak pernah menyentuh perempuan ketika membaiat, beliau membaiat perempuan hanya dengan ucapan”. Kemudian, seorang ahli bahasa; Ibn al-Manzhur berkata [24]: “Baiat [kepadanya] artinya mengambil janji darinya”.

Kemungkinan kedua, bahwa baiat tersebut terjadi dengan berjabat tangan hanya saja dengan adanya penghalang. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, berkata [25]: “Abu Dawud dalam al-Marasil [26] meriwayatkan dari as-Sya’bi bahwa Nabi ketika membaiat perempuan, disodorkan kepadanya semacam kain [sebangsa burdah dari Qatar], kemudian nabi meletakkan kain tersebut di atas tangannya, seraya berkata: “Sesungguhnya saya tidak berjabat tangan dengan kaum perempuan”. Riwayat semacam ini diriwayatkan pula oleh ‘Abd ar-Razzaq dari Ibrahim an-Nakha’i secara mursal [27]. Juga diriwayatkan oleh Sa’id ibn Manshur dari jalan Qais ibn Abi Hazim.

Ibn Ishaq dalam al-Maghazi meriwayatkan dari Musa ibn Bukair dari Qais bin Abi Hazim dari Abban ibn Shalih, bahwa Rasulullah (ketika membaiat) memasukan tangannya ke dalam satu bejana berisikan air, lalu perempuan memasukkan tangannya pada air yang sama. Saat itu kemungkinan ada banyak perempuan. Inilah apa yang ditulis oleh al-Hafizh Ibn Hajar; artinya dalam satu kesempatan Rasulullah membaiat kaum perempuan dengan berjabat tangan dengan adanya penghalang, dan dalam kesempatan lain membaiat dengan mencelupkan tangan dalam air, kemudian kaum perempuan tersebut mencelupkan tangannya masing-masing pada saat yang sama.

Dalam kitab Tarikh Dimasyq (sejarah Damaskus), riwayat tentang sepuluh orang perempuan Quraisy yang masuk Islam bahwa mereka datang menghadap Rasulullah saat berada di al-Abthah untuk dibaiat, al-Hafizh Ibn ‘Asakir berkata [28]: “Hindun, salah seorang dari mereka berkata: Wahai Rasulullah apakah kami memegang tanganmu ?. Rasulullah bersabda:
" إني لا أصافح النساء إني لا أصافح النساء إ ن قولي لمئة امرأة مثل قولي لامرأة واحدة "

Maknanya: "Sesungguhnya saya tidak berjabatan tangan dengan kaum perempuan, dan sesungguhnya ucapanku bagi seratus orang perempuan sama terhadap satu orang".


Disebutkan pula bahwa Rasulullah meletakkan kain di atas tangannya dan kemudian kaum perempuan tersebut menyentuhnya. Juga disebutkan bahwa Rasulullah didatangkan kepadanya suatu bejana air, lalu beliau memasukkan tangannya kedalam bejana tersebut, dan kaum perempuan tersebut melakukan hal serupa.

Dalam riwayat ath-Thabarani [29] diriwayatkan bahwa Rasulullah memerintah ‘Umar untuk membaiat kaum perempuan. Dalam riwayat inipun pengertiannya dengan tanpa bersentuhan kulit, sebagaimana diterangkan oleh ath-Thabarani sendiri. Kemudian, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud, diriwayatkan pula oleh Yahya ibn Salam dalam tafsirnya dari as-Sya’bi bahwa kaum perempuan mengambil baiat dari Rasulullah dengan memegang tangannya yang tertutup kain.

            Dalam kitab Tharh at-Tastrib disebutkan [30]: “Pernyataannya [‘Aisyah]: " Rasulullah membaiat kaum perempuan dengan ucapan", artinya dengan tanpa berjabat tangan. Pernyataannya ini sekaligus menunjukkan bahwa baiat bagi kaum laki-laki dengan ucapan dan berjabat tangan. Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa saat hendak membaiat kaum perempuan, Rasulullah menyuruh untuk didatangkan suatu bejana air, kemudian ia memasukkan tangannya ke dalam air bejana tersebut, lalu kaum perempuan memasukkan tangannya masing-masing kedalam air yang sama. Satu pendapat mengatakan bahwa Rasulullah berjabat tangan dengan mereka memakai kain penghalang pada tangannya. Pendapat lain menyebutkan bahwa ‘Umar berjabat tangan dengan mereka [tanpa kain penghalang] atas nama Rasulullah. Yang terakhir ini jelas sesuatu yang tidak benar, bagaimana mungkin sahabat ‘Umar melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah”.

Dalam kitab yang sama disebutkan [31]: “Dan para ahli fiqh dari kalangan sahabat kami (pengikut madzhab Syafi'i) dan lainnya telah berkata bahwa menyentuh perempuan asing hukumnya haram, sekalipun pada bagian yang bukan auratnya, seperti wajah”.

Dengan demikian jelas kesalahan pemahaman Hizbuttahrir terhadap hadits shahih yang diriwayatkan al-Bukhari, tentang pernyataan ‘Aisyah: [Demi Allah, tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan seorang perempuanpun saat membaiat]. Di mana Hizbuttahrir menyatakan bahwa pernyataan ‘Aisyah tersebut hanya sebatas pengetahuannya saja, tidak pada semua keadaan.

Adapun lafazh hadits al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya [yang dipahami salah/diselewengkan Hizbuttahrir] adalah sebagai berikut [32]: “Mengkhabarkan kepada kami Ishaq [ia berkata]: Mengkhabarkan kepada kami Ya’qub ibn Ibrahim ibn Sa’ad [ia berkata]: Mengkhabarkan kepada kami Ibn Akhi Ibn Syihab dari pamannya [ia berkata]: Mengkhabarkan kepada kami ‘Urwah bahwa ‘Aisyah; isteri Rasulullah, mengkhabarkan kepadanya bahwa Rasulullah menguji kaum perempuan yang hijrah kepadanya dengan firman Allah [yang berisikan tentang baiat]:

) يا أيها النبي إذا جاءك المؤمنات يبايعنك على أن لا يشركن بالله شيئا ولا يسرقن ولا يزنيـن ولا يقتلن أولادهن ولا يأتيـن ببهتان يفترينه بين أيديهن وأرجلهن ولا يعصينك في معروف فبايعهن واستغفر لهن الله إن الله غفور رحيم (  (سورة الممتحنة :12)

Maknanya: "Wahai Nabi apabila datang kepadamu kaum mukmin perempuan untuk berbaiat kepadamu untuk tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak mereka, tidak mendatangkan kedustaan dari kebohongan [apa yang diperbuat] antara tangan dan kaki-kaki mereka, tidak maksiat kepadamu dalam kebaikan, maka baiatlah mereka dan mintakanlah ampun kepada Allah bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang". (Q.S. al Mumtahanah : 12)


‘Urwah berkata: ‘Aisyah berkata: “Siapapun di antara perempuan yang setuju dengan syarat tersebut, Rasulullah berkata kepadanya: Aku telah membaiatmu dengan ucapan. Dan demi Allah tangan beliau tidak pernah menyentuh tangan perempuan manapun saat membaiat. Beliau tidak membaiat perempuan kecuali dengan berkata: “Aku telah membaiatmu akan hal itu”. 


Dalam riwayat Ibn Hibban perkataan ‘Aisyah sebagai berikut [33]: “Rasulullah tidak pernah mengambil [janji] terhadap kaum perempuan kecuali dengan apa yang diperintahkan oleh Allah, dan telapak tangan beliau sama sekali tidak pernah menyentuh telapak tangan perempuan. Beliau tidak melakukan apapun ketika membaiat kaum perempuan kecuali dengan berkata: Aku telah membaiat kalian dengan ucapan”.


Di antara dalil lain yang menunjukkan keharaman berjabat tangan dengan perempuan asing adalah sabda Rasulullah:

"لأنْ يُطْعَنَ أحَدِكُمْ بِمَخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أنْ يَمَسَّ امْرَأةً لاَ تَحِلُّ لَهُ"  رَوَاهُ الطّبَرَانـي فِي المُعْجَم الكَبِيْرِ منْ حَدِيْثِ مِعْقَلٍ بْنِ يَسَارٍ وَحَسّنَهُ الحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ وَنُورُ الدّيْن الهَيْثَمِي وَالمُنْذِري وَغَيْرُهُمْ

Maknanya : “Bila (kepala) salah seorang dari kalian ditusuk dengan potongan besi maka hal itu benar-benar lebih baik baginya (artinya lebih ringan) daripada (disiksa karena maksiat) memegang perempuan yang tidak halal baginya". (H.R. ath-Thabarani dalam al Mu'jam al Kabir dari hadits Ma'qil bin Yasar dan hadits ini hasan menurut Ibnu Hajar, Nuruddin al Haytsami, al Mundziri dan lainnya)


Makna [يمس] pada hadits di atas bukan “bersetubuh” (jima’), sebagaimana kesalahan pemahaman semacam ini diyakini Hizbuttahrir. Tetapi makna yang benar adalah “menyentuh”, sebagaimana pemahaman tersebut dipahami oleh perawi haditsnya sendiri; Ma’qil ibn Yasar, sebagaimana diterangkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf [34].


Kemudian mengartikan [يمس] dengan “bersetubuh” adalah sebuah pemahaman dengan metode metafor (majaz). Padahal metodologi majaz tidak dipakai kecuali dengan ketentuan dalil aqli atau dalil naqli, dimana dalil aqli tersebut sebagai sesuatu yang qath’i dan dalil naqli-nya sebagai sesuatu yang tsabit. Pemaknaan lafazh-lafazh dengan makna majazi secara sembarangan adalah tindakan mengacaukan ('abats) teks-teks syari’at sebagaimana dijelaskan oleh para ulama ushul fiqh, dari kalangan ulama madzhab Syafi’i, Hanafi dan lainnya.


Kemudian memaknai [يمس] dalam hadits di atas dengan “bersetubuh” adalah pemahaman yang bertentangan dengan hadits shahih lainnya seperti sebuah hadits riwayat Muslim [35] bahwa Rasulullah bersabda:
" واليد زناها البطش "

Maknanya: "Dan tangan perbuatan zinanya adalah al-bathsy".


Pengertian al-Bathsy dalam bahasa arab ada dua [36]; al-Bathsy bisa berarti memegang dengan kuat, dan al-Bathsy bisa berarti menyentuh. Makna [يمس] di atas adalah dalam pengertian kedua, maksudnya perbuatan zina tangan adalah menyentuh dengan tangan dengan cara berjabat tangan atau menyentuh bagian badan perempuan ajnabiyyah lainnya dengan syahwat, atau tanpa syahwat dengan tanpa penghalang. Kalau umpama tidak ada nash lain, kecuali satu hadits ini, maka inipun cukup untuk menjelaskan keharaman menyentuh perempuan asing. Dan kesalahan besar jika al-Bathsy diartikan “bersetubuh”, karena jika demikian pengertiannya tentunya Rasulullah tidak akan mengatakan lanjutan hadits tersebut yang berbunyi:

" والفرج يصدق ذلك أو يكذبه "

Maknanya: "Dan kemaluan [farji] membenarkan atau mendustakan hal tersebut (dengan bersetubuh atau tidak)".


Setelah penjelasan ini tidak ada alasan yang dapat dijadikan sandaran oleh Hizbuttahrir, kecuali bahwa mereka orang-orang keras kepala tidak mau menerima kebenaran.


__________________________

[20].  Al-Ihsan Bi Tartib Shahih Ibn Hibban: Kitab as-Sair: Bab Bai’at al-A’imah (7/41)

[21].  Disebutkan oleh Ibn Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (2/208)

[22].  Dikeluarkan al-Bukhari dalam Shahih-nya: Kitab at-Tafsir: Surat al-Mumtahanah. Juga dalam Kitab al-Ahkam: bab bai’at an-Nisa.

[23].  Zad al-Mashir (8/244)

[24].  Lisan al-Arab (8/26)

[25]   Fath al-Bari (8/236-237)

[26].  al-Marasil (h. 128)

[27].  Mushannaf ‘Abd ar-Razzaq (6/9)

[28].  Tarikh Madinat Dimasyq: Tarajum an-Nisa (h. 451)

[29].  al-Mu’jam al-Kabir (25/45). Lihat pula Majma’ az-Zawaid (6/38), Musnad Ahmad (6/408-409) dan Mushannaf Ibn Abi Syaibah (3/390).

[30].  Tharh at-Tatsrib (7/44)

[31].  Tharh at-Tatsrib (7/45)

[32].  Shahih al-Bukhari: Kitab at-Tafsir: Bab tafsir firman Allah ayat 10 dari surat al-Mumtahanah.

[33].  Al-Ihsan Bi Tartib Shahih Ibn Hibban (7/441)

[34] .  Al-Mushannaf (4/341)

[35].  Shahih Muslim: Kitab al-Qadar.

[36].  Lihat al-Misbah al-Munir karya al-Fayyumi (h. 51)

BAB VII
MEMAKAI HIRZ ATAU TA’WIDZ

Di antara keganjilan golongan Wahabi bahwa mereka mengharamkan memakai hirz yang isi di dalamnya hanya ayat-ayat al Qur’an atau bacaan-bacaan dzikir kepada Allah, mereka bahkan memutus hirz-hirz tersebut dari leher orang yang memakainya dengan mengatakan: “ini adalah perbuatan syirik”, terkadang mereka tidak segan-segan memukulnya. Lalu bagaimana mereka menilai Abdullah ibn 'Amr ibn al 'Ash dan lainnya dari kalangan para sahabat yang telah melakukan hal itu yakni mengalungkan hirz-hirz tersebut pada leher anak-anak mereka yang belum baligh. Apakah mereka akan memvonis para sahabat itu dengan syirk ?!!!, lalu apa yang hendak mereka katakan tentang Imam Ahmad, Imam Mujtahid Ibn Mundzir yang telah membolehkan hirz. Cukuplah ini sebagai bukti bahwa kelompok Wahabi ini sesat karena telah menganggap syirik apa yang telah dilakukan oleh para ulama salaf.

At-Tirmidzi dan an-Nasa-i meriwayatkan dari 'Amr ibn Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya berkata: “Rasulullah telah mengajarkan kepada kami beberapa kalimat untuk kita baca ketika terjaga dari tidur dalam keadaan terkejut dan takut”, dalam riwayat Isma’il Rasulullah bersabda yang maknanya: “Jika di antara kalian merasakan ketakutan maka bacalah:


" أعوذ بكلمات الله التامة من غضبه وعقابه  ومن شر عباده ومن همزات الشياطين وأن يحضرون "

Adalah sahabat Abdullah ibn 'Amr mengajarkan bacaan ini kepada anaknya yang sudah baligh untuk dibaca sebelum tidur dan menuliskannya untuk anak-anaknya yang belum baligh kemudian dikalungkan di lehernya”.

Al Hafizh Ibn Hajar dalam kitabnya al Amali [Nata-ij al Afkar, h. 103-104] berkata: “Hadits ini hasan, diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dari Ali ibn Hujr, dari Isma’il ibn Abbas, dan diriwayatkan oleh an-Nasai dari 'Amr ibn Ali al Fallas dari Yazid ibn Harun". Kalaupun Ibn Baaz atau Muhammad Hamid al Faqqi melemahkan hadits ini, maka itu adalah sesuatu yang tidak benar, tidak berarti dan tidak perlu diambil karena mereka berdua bukan Muhaddits atau Hafizh. Apalagi Amir al Mukminin fi al Hadits, Ibn Hajar al 'Asqalani telah menyatakan bahwa hadits ini hasan.

Ibn Abi ad-Dunya [dalam kitab al 'Iyal, h. 144] meriwayatkan dari al Hajjaj, ia berkata: “Telah menceritakan kepadaku orang yang telah melihat Sa’id ibn Jubayr sedang menuliskan beberapa ta’widz untuk orang". Dalam riwayat al Bayhaqi [ as-Sunan al Kubra, Jilid 9, hlm. 351] orang yang telah melihat Sa’id ibn Jabir itu disebutkan namanya yaitu Fudhail.

Dalam kitab Masa-il al Imam Ahmad [h. 260] karya Abu Dawud as-Sijistani sebagai berikut:

§         “Telah memberitakan kepada kami Abu Bakr, telah meriwayatkan kepada kami Abu Dawud, ia berkata: Aku melihat tamimah (hirz) yang terbuat dari kulit terkalungkan pada leher putera Ahmad yang masih kecil”.

§         Juga telah memberitakan kepada kami Abu Bakr berkata, telah meriwayatkan kepada kami Abu Dawud: Aku telah mendengar Imam Ahmad ditanya tentang seseorang yang menulis al Qur’an pada sesuatu kemudian dicuci dan diminumnya? Ahmad berkata: “Saya berharap itu tidak masalah”.

§         Abu Dawud berkata: Aku mendengar pertanyaan yang ditujukan kepada Imam Ahmad: Menulis al-Qur’an pada sesuatu kemudian dicuci dan dibuat mandi?, beliau menjawab: “Saya tidak mendengar kalau hal itu dilarang”.

Dalam kitab Ma’rifah al ‘Ilal wa Ahkam ar-Rijal [ hlm. 278-279] dari Abdillah ibn Ahmad ibn Hanbal berkata: telah meriwayatkan kepadaku ayahku, ia berkata: telah meriwayatkan kepadaku Yahya ibn Zakariya ibn Abi Za-idah, ia berkata: telah mengkabarkan kepadaku Isma’il ibn Abi Khalid dari Farras dari asy-Sya’bi berkata: “Tidak masalah mengalungkan hirz dari al Qur’an pada leher seseorang”.

Abdullah ibn Ahmad [dalam Masa-il al Imam Ahmad karya puteranya Abdullah, h. 447] berkata: “Saya melihat ayahku menuliskan bacaan-bacaan (hirz/at-ta’awidz) untuk orang-orang yang dirasuki Jin, serta untuk keluarga dan kerabatnya yang demam, ia juga menuliskan untuk perempuan yang sulit melahirkan pada sebuah tempat yang bersih dan ia menulis hadits Ibn Abbas, hanya saja ia melakukan hal itu ketika mendapatkan bala dan aku tidak melihat ayahku melakukan hal tersebut jika tidak ada bala. Aku juga melihat ayahku membaca ta’widz pada sebuah air kemudian diminumkan kepada orang yang sakit dan disiramkan pada kepalanya, aku juga melihat ayahku mengambil sehelai rambut Rasulullah lalu diletakkan pada mulutnya dan mengecupnya, aku juga sempat melihat ayahku meletakkan rambut Rasul tersebut pada kepala atau kedua matanya kemudian dicelupkan ke dalam air dan air tersebut diminum untuk obat, aku melihat ayahku mengambil piring Rasul yang dikirim oleh Abu Ya’qub ibn Sulaiman ibn Ja’far kemudian mencucinya dalam air dan air tersebut ia minum, bahkan tidak hanya sekali aku melihat ayahku minum air zamzam untuk obat ia usapkan pada kedua tangan dan mukanya”.

Dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah [ 5/39-40] tersebut sebagai berikut: “Telah meriwayatkan kepada kami Abu Bakr, ia berkata: telah meriwayatkan kepada kami Ali ibn Mushir dari Ibn Abi Laila dari al Hakam dari Sa’id ibn Jubayr dari Ibn Abbas berkata: Jika seorang perempuan sulit melahirkan maka tulislah dua ayat ini dan beberapa kalimat pada selembar kertas kemudian basuh (celupkan dalam air) dan minumlah:


"بسم الله لا إله إلا هو الحليم الكريم , سبحان الله  رب السموات السبع ورب العرش العظيم ، (كأنهم يوم يرونها لم يلبثوا إلا عشية أو ضحاها ) [سورة النازعات / 46] (كأنهم يوم يرون ما يوعدون  لم يلبثوا إلا ساعة من نهار بلاغ) [الأحقاف / 35] (فهل يهلك إلا القوم الفاسقون) [سورة الأحقاف / 35]"


Dalam kitab al Ausath fi as-Sunan wa al Ijma’ wa al Ikhtilaf , Juz 1 h. 103-104 karya Ibn Mundzir disebutkan bolehnya memakai at-ta’widz (hirz).

Dalam kitab al A-daab asy-Syar’iyyah karya Ibn Muflih al Hanbali juga disebutkan bahwa Imam Ahmad menulis ta’widz untuk seorang perempuan yang ketakutan di rumahnya, membuat hirz untuk orang yang demam. Imam Ahmad juga membuat hirz untuk wanita yang akan melahirkan dan meriwayatkannya dari Ibn Abbas dan Ibn as-Sunni meriwayatkannya dari Rasulullah dalam 'Amal al Yaum wa al-laylah”.

Al Bayhaqi meriwayatkan dalam as-Sunan al Kubra kebolehan memakai hirz dari beberapa ulama Tabi'in, di antaranya Sa’id ibn Jubayr, Atha’. Bahkan Sa'id ibn al Musayyab memerintahkan agar dikalungkan ta'widz dari al Qur'an. Kemudian al Bayhaqi berkata: “ini semua kembali kepada apa yang telah aku sebutkan bahwasanya kalau seseorang membaca ruqa (bacaan-bacaan) yang tidak jelas maknanya, atau seperti orang-orang di masa Jahiliyah yang meyakini bahwa kesembuhan berasal dari ruqa tersebut maka itu tidak boleh. Sedangkan jika seseorang membaca ruqa dari ayat-ayat al Qur'an atau bacaan-bacaan yang jelas seperti bacaan dzikir dengan maksud mengambil berkah dari bacaan tersebut dan dengan keyakinan bahwa kesembuhan datangnya hanya dari Allah semata maka hal itu tidak masalah, wabillah at-taufiq”.

Adapun hadits Rasulullah yang berbunyi:

" إن الرقى والتمائم والتولة شرك " رواه أبو داود

Maknanya : “Sesungguhnya ruqa, tama-im dan tiwalah adalah syirik  (H.R. Abu Dawud)

Yang dimaksud bukanlah tama-im dan ta’awidz yang berisikan ayat-ayat al Qur’an atau bacaan-bacaan dzikir. Karena kata tama-im sudah jelas dan dikenal maknanya, yaitu untaian yang biasa dipakai oleh orang-orang jahiliyyah dengan keyakinan bahwa tamaim tersebut dengan sendirinya menjaga mereka dari 'ayn atau yang lainnya. Mereka tidak meyakini bahwa tama-im itu bermanfaat dengan kehendak Allah. Karena keyakinan yang salah inilah kemudian Rasulullah menyebutnya sebagai syirik.

Demikian juga ruqa yang terdapat dalam hadits tersebut, karena ruqa ada  dua macam ; ada yang mengandung syirik dan ada yang tidak mengandung syirik.

§         Ruqa yang mengandung syirik adalah yang berisi permintaan kepada jin dan syetan. Dan sudah maklum diketahui bahwa setiap kabilah arab memiliki thaghut yaitu setan yang masuk pada diri seseorang dari mereka kemudian setan itu berbicara lewat mulut orang tersebut kemudian orang tersebut disembah. Ruqa yang syirik adalah ruqa jahiliyyah seperti ini atau yang semakna dengannya.

§         Sedangkan ruqa yang syar’i yaitu yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan diajarkan kepada para sahabatnya. umat Islam pada masa sahabat memakai ruqa syar’i tersebut untuk menjaga diri dari 'ayn dan yang lainnya dengan mengalungkan ruqa-ruqa tersebut pada leher mereka. Ruqa syar’i  ini terdiri dari  ayat-ayat al Qur’an atau dzikir.[]



BAB VIII
MASALAH-MASALAH SEPUTAR SHALAT DAN DZIKIR


a.     Qunut Subuh

Dalam madzhab Syafi'i disunnahkan membaca doa Qunut pada sholat Subuh, baik terjadi musibah ataupun tidak. Pendapat ini juga pendapat kebanyakan ulama salaf dan para ulama sesudah mereka, atau banyak ulama dari kalangan mereka seperti Abu Bakr ash-shiddiq, Umar, Utsman, Ali, Ibn 'Abbas, al Bara' ibn 'Azib dan lain-lain.

Sahabat Anas ibn Malik mengatakan :

" أن النبي صلى الله عليه وسلم قنت شهرا  يدعو عليهم ثم ترك، فأما في الصبح فلم يزل يقنت حتى فارق الدنيا "  قال الحافظ النووي : حديث صحيح رواه جماعة من الحفاظ وصححوه، وممن نص على صحته الحافظ أبو عبد الله محمد بن علي البلخي والحاكم والبيهقي والدارقطني 

Maknanya : "Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam membaca Qunut, mendoakan mereka agar celaka (dua kabilah; Ri'l dan Dzakwan) kemudian meninggalkannya, sedangkan pada sholat Subuh ia tetap membaca doa qunut hingga meninggalkan dunia ini"  (Hadits sahih riwayat banyak ahli hadits dan disahihkan oleh banyak ahli hadits seperti al Hafizh al Balkhi, al Hakim, al Bayhaqi dan ad-Daraquthni dan lain-lain)


Kalau ada orang mengatakan Qunut Subuh sebagai bid'ah berarti mengatakan para sahabat dan para ulama mujtahid yang telah disebutkan sebagai ahli bid'ah, na'udzu billah min dzalik.


b.     Dzikir dengan suara yang keras

Abdullah ibn 'Abbas berkata :

" كنت أعرف انقضاء صلاة رسول الله بالتكبير" رواه البخاري ومسلم

Maknanya : "Aku mengetahui selesainya sholat Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)" (H.R. al Bukhari dan Muslim)

" كنا نعرف انقضاء صلاة رسول الله بالتكبير"  رواه مسلم

Maknanya : "Kami mengetahui selesainya sholat Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)" (H.R. al Bukhari dan Muslim)

" أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد رسول الله" رواه البخاري ومسلم

Maknanya : "Mengeraskan suara dalam berdzikir ketika jama'ah selesai sholat fardlu terjadi pada zaman Rasulullah" (H.R. al Bukhari dan Muslim)

" كنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته" 

Maknanya : "Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai sholat dengan mendengar suara berdzikir yang keras itu"

Hadits-hadits ini adalah dalil diperbolehkannya berdzikir dengan suara yang keras, tetapi tanpa berlebih-lebihan dalam mengeraskannya. Karena mengangkat suara dengan keras yang berlebih-lebihan dilarang oleh Nabi shallallahu 'alayhi wasallam dalam hadits yang lain. Dalam hadits riwayat al Bukhari dari Abu Musa al Asy'ari bahwa ketika para sahabat sampai dari perjalanan mereka di lembah Khaibar, mereka membaca tahlil dan takbir dengan suara yang sangat keras. Lalu Rasulullah berkata kepada mereka :

" اربعوا على أنفسكم فإنكم لا تدعون أصمّ ولا غائبا ، إنما تدعون سميعا قريبا ..."

Maknanya : "Ringankanlah atas diri kalian (jangan memaksakan diri mengeraskan suara), sesungguhnya kalian tidak meminta kepada Dzat yang tidak mendengar dan tidak kepada yang ghaib, kalian meminta kepada yang maha mendengar dan maha "dekat" …"  (H.R. al Bukhari)


Hadits ini tidak melarang berdzikir dengan suara yang keras, yang dilarang adalah dengan suara yang sangat keras dan berlebih-lebihan. Hadits ini juga menunjukkan bahwa boleh berdzikir dengan berjama'ah sebagaimana dilakukan oleh para sahabat tersebut, karena bukan ini yang dilarang oleh Nabi melainkan mengeraskan suara secara berlebih-lebihan.


c.     Doa dengan berjama'ah

Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :

" ما اجتمع قوم فدعا بعض وأمّن الآخرون إلا استجيب لهم " (رواه الحاكم في المستدرك من حديث مسلمة بن حبيب الفهري)
Maknanya : "Tidaklah suatu jama'ah berkumpul, lalu sebagian berdoa dan yang lain mengamini kecuali doa tersebut akan dikabulkan oleh Allah" (H.R. al Hakim dalam al Mustadrak dari sahabat Maslamah ibn Habib al Fihri)

Hadits ini menunjukkan kebolehan berdoa dengan berjama'ah, salah satu berdoa dan yang lain mengamini, termasuk dalam hal ini yang sering dilakukan oleh jama'ah setelah sholat lima waktu, imam sholat berdoa dan jama'ah mengamini.[]

BAB IX
MEMBACA AL-QUR’AN UNTUK MAYYIT

  1. Membaca al Qur'an


Para ulama Ahlussunnah menyepakati bahwa doa dan istighfar seorang muslim yang masih hidup kepada Allah untuk orang yang telah mati itu bermanfaat. Demikian juga membaca al Qur'an di atas kubur juga bermanfaat terhadap mayyit. Dalil Kebolehan membaca al Qur'an di atas kubur adalah hadits bahwa Nabi membelah pelepah yang basah menjadi dua bagian kemudian Nabi menanamkan masing-masing di dua kuburan yang ada dan Rasulullah bersabda:


" لعله يخفف عنهما ما لم ييبسا"  رواه الشيخان

Maknanya: "Semoga keduanya mendapatkan keringanan siksa kubur selama pelepah ini belum kering". Dapat diambil dalil dari hadits ini bahwa boleh menancapkan pohon dan membaca al Qur'an di atas kubur, jika pohon saja bisa meringankan adzab kubur lebih–lebih bacaan al Qur'an orang mukmin. Imam Nawawi berkata: "Para ulama mengatakan sunnah hukumnya membaca al Qur'an di atas kubur berdasarkan pada hadits ini, karena jika bisa diharapkan keringanan siksa kubur dari tasbihnya pelepah kurma apalagi dari bacaan al Qur'an".  Jelas bacaan al Qur'an dari manusia itu lebih agung dan lebih bermanfaat daripada tasbihnya pohon. Jika telah terbukti al Qur'an bermanfaat bagi sebagian orang yang ditimpa bahaya dalam hidupnya, maka mayit begitu juga.

Di antara dalil bahwa mayyit mendapat manfaat dari bacaan al Qur'an orang lain adalah hadits Ma'qil ibn Yasar:

" اقرءوا يس على موتاكم " (رواه أبو داود والنسائي وابن ماجه وابن حبان وصححه).

Maknanya : " Bacalah surat Yaasin untuk mayit kalian " (H.R Abu Dawud, an– Nasai, Ibn Majah dan Ibn Hibban dan dishahihkannya).

Hadits ini memang dinyatakan lemah oleh sebagian ahli hadits, tetapi Ibn Hibban mengatakan hadits ini shahih dan Abu Dawud diam (tidak mengomentarinya) maka dia tergolong hadits Hasan (sesuai dengan istilah Abu Dawud dalam Sunan-nya), dan al Hafizh as-Suyuthi juga mengatakan bahwa hadits ini Hasan.

Dalil yang lain adalah hadits Nabi:
" يس قلب القرءان لا يقرؤها رجل يريد الله و الدار الآخرة إلا غفر له، واقرءوها على موتاكم " (رواه أحمد)

Maknanya : " Yasin adalah hatinya al Qur'an, tidaklah dibaca oleh seorangpun karena mengharap ridla Allah dan akhirat kecuali diampuni oleh Allah dosa– dosanya, dan bacalah Yasin ini  untuk mayit–mayit kalian "  (H.R. Ahmad)


Ahmad bin Muhammad al Marrudzi berkata : "Saya mendengar Ahmad ibn Hanbal -semoga Allah merahmatinya- berkata: "Apabila kalian memasuki areal pekuburan maka bacalah surat al Fatihah dan Mu'awwidzatayn dan surat al Ikhlas dan hadiahkanlah pahalanya untuk ahli kubur karena sesungguhnya pahala bacaan itu akan sampai kepada mereka".

Al Khallal juga meriwayatkan dalam al Jami' dari asy-Sya'bi bahwa ia berkata:

"كانت الأنصار إذا مات لهم ميت اختلفوا إلى قبره يقرءون له القرءان"

 "Tradisi para sahabat Anshar jika meninggal salah seorang di antara mereka, maka mereka akan datang ke kuburnya silih berganti dan membacakan al Qur'an untuknya (mayit)".


Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam al Bukhari bahwasanya 'Aisyah -semoga Allah meridlainya- berkata : Alangkah sakitnya kepalaku lalu Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :
" ذاك لو كان وأنا حي فأ ستغفر لك وأدعو لك "


Maknanya : "Jika itu terjadi (engkau sakit dan meninggal) dan aku masih hidup maka aku mohon ampun dan berdoa untukmu".

Perkataan Rasulullah " وأدعو لك "  (maka saya akan berdoa untukmu) ini, mencakup doa dengan segala bentuk dan macam–macamnya, maka termasuk  doa seseorang setelah membaca beberapa ayat dari al Qur'an dengan tujuan supaya pahalanya disampaikan kepada mayit seperti dengan mengatakan :

اللهم أوصل ثواب ما قرأت إلى فلان

"Ya Allah sampaikanlah pahala bacaanku ini kepada si Fulan".

Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Ubayy ibn Ka'b bahwa dia berkata: "Wahai Rasulullah sesungguhnya aku banyak bershalawat kepadamu maka berapa banyak sebaiknya aku bershalawat kepadamu ? Rasulullah menjawab : "terserah kamu"  (H.R. Imam at–Turmudzi)

Sedangkan yang sering dikatakan orang bahwa Imam Syafi'i menyatakan bacaan al Qur'an tidak akan sampai kepada mayyit, maksud asy-Syafi'i adalah jika bacaan tersebut tidak dibarengi dengan doa Ii-shal - إيصال - (doa agar disampaikan pahala bacaan tersebut kepada mayit) atau bacaan tersebut tidak dilakukan di kuburan mayit karena asy-Syafi'i menyetujui kedua hal ini (membaca al Qur'an dengan diakhiri doa Ii-shal - إيصال -  dan membaca al Qur'an di atas kuburan mayit). Imam an-Nawawi mengatakan: "Asy-Syafi'i dan tokoh-tokoh madzhab Syafi'i mengatakan: Disunnahkan dibaca di kuburan mayit ayat-ayat al Qur'an, dan jika dibacakan al Qur'an hingga khatam itu sangat baik".

Sebagian ahli bid'ah mengatakan tidak akan sampai pahala sesuatu apapun kepada si mayit dari orang lain yang masih hidup, baik doa ataupun yang lain.  Perkataan mereka ini bertentangan dengan al Qur'an dan Sunnah. Bahwa mereka berdalil dengan firman Allah ta'ala:

) وأن ليس للإنسان إلا ما سعى (  (سورة النجم : 39 )

Ini adalah hal yang tidak tepat dan mesti ditolak karena maksud ayat ini bukanlah menafikan bahwa seseorang mendapatkan manfaat dari apa yang dikerjakan oleh orang lain seperti sedekah dan haji untuk orang yang telah meninggal, melainkan ayat ini menafikan kepemilikan terhadap amal orang lain. Amal orang lain adalah milik orang lain yang mengerjakankannya, karena itu jika ia mau ia bisa memberikan kepada orang lain dan jika tidak ia bisa memilikinya untuk dirinya sendiri. Allah subhanahu wata'ala tidak mengatakan tidak bermanfaat bagi seseorang kecuali amalnya sendiri.

Mereka yang menafikan secara mutlak tersebut adalah golongan Mu'tazilah. Imam Ahmad ibn Hanbal pernah mengingkari orang yang membaca al Qur'an di atas kuburan, namun kemudian sahabat (salah seorang murid dekat)nya menyampaikan kepadanya atsar dari sebagian sahabat yaitu Ibn Umar lalu dia ruju' dari pendapatnya tersebut. Al Bayhaqi dalam as-Sunan al Kubra meriwayatkan dengan sanad yang sahih bahwa Ibn Umar menganggap sunnah setelah mayit dikuburkan untuk dibacakan awal dan akhir surat al Baqarah. Salah seorang ulama Madzhab Hanbali, Asy-Syaththi al Hanbali dalam komentarnya atas kitab Ghayah al Muntaha, hlm. 260 mengatakan : "Dalam al Furu' dan Tashhih al Furu'  dinyatakan : Tidak dimakruhkan membaca al Qur'an di atas kuburan dan di areal pekuburan, inilah yang ditegaskan oleh al Imam Ahmad, dan inilah pendapat madzhab Hanbali. Kemudian sebagian menyatakan hal itu mubah, sebagian mengatakan mustahabb (sunnah). Demikian juga disebutkan dalam al Iqna'".  


  1. Menghidangkan Makanan untuk orang yang datang ta'ziyah atau menghadiri undangan baca al Qur'an

Menghidangkan makanan yang dilakukan oleh keluarga mayit untuk orang yang datang ta'ziyah atau menghadiri undangan baca al Qur'an adalah boleh karena itu termasuk ikram adl-Dlayf  (menghormat tamu). Dan dalam Islam ini adalah sesuatu yang dianjurkan. Sedangkan Hadits Jarir ibn 'Abdillah al Bajali bahwa ia mengatakan :

" كنّا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنيعة الطعام بعد دفنه من النياحة"
(رواه أحمد بسند صحيح)

Maknanya : "Kami di masa Rasulullah menganggap berkumpul di tempat mayit dan membuat makanan setelah dikuburkannya mayit sebagai Niyahah (meratapi mayit yang dilarang oleh Islam)"  (H.R. Ahmad dengan sanad yang sahih)

Maksudnya adalah jika keluarga mayit membuat makanan tersebut untuk dihidangkan  kepada para hadirin dengan tujuan al Fakhr ; berbangga diri supaya orang mengatakan bahwa mereka pemurah dan dermawan  atau makanan tersebut disajikan kepada perempuan-perempuan agar menjerit-jerit, meratap sambil menyebutkan kebaikan-kebaikan mayit, karena inilah yang biasa dilakukan oleh orang-orang di masa jahiliyah, mereka yang tidak beriman kepada akhirat itu. Dan inilah Niyahah yang termasuk perbuatan orang-orang di masa jahiliyyah dan dilarang oleh Nabi shallallahu 'alayhi wasallam .

Jika tujuannya bukan untuk itu, melainkan untuk menghormat tamu atau bersedekah untuk mayit dan meminta tolong agar dibacakan al Qur'an untuk mayit maka hal itu boleh dan tidak terlarang. Al Bukhari meriwayatkan dalam Sahih-nya dari Ibn 'Abbas bahwa Sa'd ibn 'Ubadah ibunya meninggal ketika dia pergi, kemudian ia berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam : Wahai Rasulullah, Ibuku meninggal dan aku sedang tidak berada di tempat tersebut, apakah bermanfa'at baginya jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya ?, Rasulullah menjawab : "Ya", Sa'd berkata : (Kalau begitu) Saya bersaksi kepadamu bahwa kebunku yang sedang berbuah itu aku sedekahkan untuknya.
 

  1. Tahlilan pada hari ke tiga, ke tujuh, ke seratus, ke seribu dan seterusnya

Tradisi ummat Islam mengundang para tetangga ke rumah mayit kemudian memberi makan mereka ini adalah sedekah yang mereka lakukan untuk si mayit dan dalam rangka membaca al Qur'an untuk mayit, dan jelas dua hal ini adalah hal yang boleh dilakukan. Sedekah untuk mayit jelas dibenarkan oleh hadits Nabi dalam Sahih al Bukhari. Sedangkan membaca al Qur'an untuk mayit, menurut mayoritas para ulama salaf dan Imam madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali pahalanya akan sampai kepada mayit, demikian dijelaskan oleh as-Suyuthi dalam Syarh ash-Shudur dan dikutip serta disetujui oleh al Hafizh Murtadla az-Zabidi dalam Syarh Ihya' 'Ulum ad-Din. Syekh Abdullah al Harari mengatakan : "Sedangkan yang sering dikatakan orang bahwa Imam asy-Syafi'i menyatakan bacaan al Qur'an tidak akan sampai kepada mayyit maksud asy-Syafi'i adalah jika bacaan tersebut tidak dibarengi dengan doa Ii-shal (doa agar disampaikan pahala bacaan kepada mayyit) atau bacaan tersebut tidak dilakukan di kuburan mayyit karena asy-Syafi'i menyetujui kedua hal ini (membaca al Qur'an dengan diakhiri doa Ii-shal  dan membaca al Qur'an di atas kuburan mayyit)".  (lihat Syarh Raudl ath-Thalib, Nihayatul Muhtaj, Qadla' al Arab fi As-ilah Halab dan kitab-kitab Fiqh Syaf'i yang lain).

Bahwa berkumpul untuk mendoakan mayit dan membaca al Qur'an untuknya pada hari ke tiga, ke tujuh, ke seratus, ke seribu dan seterusnya maka hukumnya adalah sebagai berikut :

§         Berkumpul di hari ke tiga tujuannya adalah berta'ziyah.
§         Berkumpul setelah hari ke tiga tujuannya adalah berta'ziyah bagi yang belum. Bagi yang sudah berta'ziyah, berkumpul saja pada hari-hari tersebut bukanlah hal yang mutlak sunnah, tetapi kalau tujuan berkumpul tersebut adalah untuk membaca al Qur'an dan ini semua mengajak kepada kebaikan. Allah ta'ala berfirman :

) وافعلوا الخيـر لعلكم تفلحون (   (سورة الحج : 77)

Maknanya : "Lakukanlah hal yang baik agar kalian beruntung"  (Q.S. al Hajj : 77).[]

BAB X
MEMBACA SAYYIDINA KETIKA BERSHALAWAT ATAS NABI 

Menambah lafazh "sayyid" sebelum menyebut nama Nabi adalah hal yang diperbolehkan karena kenyataannya beliau memang Sayyid al 'Alamin ; penghulu dan pimpinan seluruh makhluk. Jika Allah ta'ala dalam al Qur'an menyebut Nabi Yahya dengan :

) ... وسيدا وحصورا ونبيا من الصالـحين (   (سورة آل عمران : 39) 


Padahal Nabi Muhammad lebih mulia daripada Nabi Yahya. Ini berarti mengatakan sayyid untuk Nabi Muhammad juga boleh, bukankah Rasulullah sendiri pernah mengatakan tentang dirinya :

" أنا سيد ولد ءادم يوم القيامة ولا فخر "  رواه الترمذي
Maknanya : "Saya adalah penghulu manusia di hari kiamat"  (H.R. at-Turmudzi)


Jadi boleh mengatakan " اللهم صل على سيدنا محمد " meskipun tidak pernah ada pada lafazh-lafazh shalawat yang diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al Ma'tsurah). Karena menyusun dzikir tertentu; yang tidak ma'tsur boleh selama tidak bertentangan dengan yang ma'tsur. Sayyidina umar dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim menambah lafazh talbiyah dari yang sudah diajarkan oleh Nabi, lafazh talbiyah yang diajarkan oleh Nabi adalah :


" لبيك اللهم لبيك، لبيك لا شريك لك لبيك، إن الحمد والنعمة لك والملك ، لا شريك لك "
Umar menambahkan :

"لبيك اللهم لبيك وسعديك ، والخير في يديك، والرغباء إليك والعمل"


Ibnu Umar juga menambah lafazh tasyahhud menjadi :

" أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له "

Ibnu Umar berkata : " وأنا زدتها "  ; "Saya yang menambah       وحده لا شريك له ". (H.R. Abu Dawud)

Karena itulah al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al Bari, Juz. II, hlm. 287 ketika menjelaskan hadits Rifa'ah ibn Rafi', Rifa'ah mengatakan : Suatu hari kami sholat berjama'ah di belakang Nabi shallallahu 'alayhi wasallam, ketika beliau mengangkat kepalanya setelah ruku' beliau membaca : سمع الله لمن حمده , salah seorang makmum mengatakan:  " ربنا ولك الحمد حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه " , maka ketika sudah selesai sholat Rasulullah bertanya : "Siapa tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu ?" , Orang yang mengatakan tersebut menjawab: Saya , lalu Rasulullah mengatakan :


" رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها أيهم يكتبها أول"  

Maknanya : "Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya".


al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan : "Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan;

Ø      Bolehnya menyusun dzikir di dalam sholat yang tidak ma'tsur selama tidak menyalahi yang ma'tsur.

Ø      Boleh mengeraskan suara berdzikir selama tidak mengganggu orang di dekatnya.


Ø      Dan bahwa orang yang bersin ketika sholat boleh mengucapkan al Hamdulillah tanpa ada kemakruhan di situ". Demikian perkataan Ibnu Hajar.
Jadi boleh mengatakan " اللهم صل على سيدنا محمد "  dalam sholat sekalipun karena tambahan kata sayyidina ini tambahan yang sesuai dengan asal dan tidak bertentangan dengannya.[]







Tidak ada komentar:

Entri Populer